Minggu, 31 Juli 2011

Bayi yang lahir lewat operasi sesar, lebih rawan Alergi

Surabaya - Bagi wanita yang melahirkan secara normal, anak Anda dipastikan tidak mengalami alergi apapun saat maish bayi, anak-anak hingga dewasa. Hal ini berbeda dengan wanita yang melahirkan secara caesar.

"50 Persen wanita yang melahirkan secara caesar, anak-anaknya rawan mengalami alergi apapun. Hal ini tentu berbeda dengan wanita yang melahirkan melalui jalur biasa banyak untungnya," kata Dr dr Ario SpPD-KAI, Wakil Ketua Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) XXV Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSU dr Soetomo yang digelar di Hotel Shangri-La 23-25 Juli kepada wartawan di ruang sidang penyakit dalam RSU Soetomo, Senin (19/7/2010).

Dia menambahkan, secara teknis bayi yang lahir secara normal akan melewati beberapa bagian organ dalam hingga vagina sang ibu. Secara logika ibu yang melahirkan normal, si bayi akan menelan dan menghirup lendir, darah atau air ketuban.

Namun justru hal itulah yang menyebabkan si bayi kebal, termasuk kebal terhadap alergi. "Bayangkan saja saat sang bayi melewati perjalanan keluarnya dari rahim, dia akan menelan lendir yang dianggap sebagai kuman atau mikroba. Tapi justru mikroba itu mengandung pro biotik yang berfungsi salah satunya untuk ketahanan tubuh," jelasnya.

Tapi, kata dia, wanita yang melakukan operasi caesar saat melahirkan justru mudah terkena alergi. "Padahal mereka yang melakukan caesar jauh dari kotor penanganannaya. Semua dilakukan steril, baik saat dibersihkan dan diberi antibiotik," kata dr Ario.
(fat/fat)

Kamis, 28 Juli 2011

Waktunya Stop Dot Bayi

MENURUT teori Sigmund Freud, usia 0 - 12 bulan berada dalam fase oral, dimana bayi mencari kepuasan dengan mengisap-isap benda yang ada di dekatnya. Tak heran jika bayi sering terlihat asyik mengisap jari, ujung sarung bantal, selimut, mainan dan benda apa pun yang berada dalam jangkauannya.

Oleh karena itu dibuatlah empeng, untuk memuaskan kebutuhan bayi pada fase oral tersebut. Namun masalahnya jika kebiasaan mengempeng ini tidak dihentikan secara bertahap, dapat membuat anak sulit menghentikannya dan sangat mungkin terbawa sampai anak memasuki usia sekolah. Berikut cara mudah si kecil lepas dari empeng dari Meriyati Budiman, M.Psi.

Setelah Satu Tahun, Stop!

Sebaiknya hentikan penggunaan empeng secara bertahap, mulai usia 7 bulan sampai 1 tahun. Karena selepas usia setahun, anak tidak berada dalam fase oral lagi. Sehingga, keinginannya untuk mengisap-isap atau menggigit-gigit benda tidak sekuat usia sebelumnya. Kadang, dengan mengisap empeng, anak menjadi tenang atau mudah tidur.

Ya, empeng memang banyak digunakan para Moms untuk menenangkan si kecil – sebagai pengganti minum susu. Sebaiknya pada usia dua tahun, anak sudah berhenti mengempeng. Karena, pada usia itu si kecil sudah dapat bersosialisasi dengan lingkungan luar.

Empeng Bukan Jawaban Menangani ”Kerewelan”

Bayangkan jika Moms menghisap empeng di mulut bersamaan sekaligus menarik nafas lewat hidung, hm tentu juga akan sulit bagi si kecil ya Moms. Jadi jangan mudah membiasakan memberikan empeng setiap kali anak rewel tanpa mau tahu apa penyebab kerewelan itu sendiri.

Jika si Kecil rewel itu bisa karena disebabkan berbagai faktor, bisa karena kesepian dan ingin diajak main, kepanasan, kedinginan, tidak nyaman, atau tidak merasa aman. Dengan mengatasi penyebabnya maka ia bisa kembali tenang tanpa empeng.

Tip & Trik Melepas Empeng

Tak ada yang sulit untuk menghilangkan kebiasaan jelek si kecil. Semua bisa dilakukan asal dengan sabar dan telaten, seperti:

1. Tidak membeli empeng baru jika yang lama telah rusak.

2. Jangan biarkan empeng terus menempel di mulut si kecil selama dia beraktivitas.

3. Atur penggunaan empeng menjadi semakin lama semakin jarang memakainya, misalnya berikan empeng saat si kecil tidur saja dan jika anak sedang bermain dengan teman-temannya jangan berikan empeng.

4. Ajak si kecil bermain atau melakukan aktivitas lain yang menyenangkan agar perhatiannya teralih dari empeng.

5. Buat jadwal aktivitas yang teratur. Misalnya, setiap akhir pekan ada acara jalan-jalan ke kebun binatang atau ke taman sambil melihat berbagai aktifitas di taman dan ia tidak mengempeng dalam satu hari tersebut.

6. Jika si kecil masih sangat sulit melepaskan empeng kesayangannya, Moms bisa mengganti empeng dengan mainan gigitan atau teether. Namun pastikan teether tersebut bersih dan aman baginya.

Bersihkan teether secara teratur. Usahakan sebelum dipakai disterilkan terlebih dulu atau siram dengan air panas kemudian lap hingga bersih. Ingat teether yang kotor dapat menjadi tempat perkembangbiakan bibit penyakit, seperti diare. Jangan lupa juga perhatikan bahan dan bentuk teether, sesuaikan dengan usia jangan sampai tertelan karena mungkin ukurannya yang kecil sehingga mudah tertelan.

7. Ajaklah si kecil berbicara, tanyakan mengapa ia masih membutuhkan empeng. Lalu, jika si kecil merasa gelisah, khawatir akan sesuatu lalu ia mengempeng, maka Moms bisa memberikannya pelukan dan memberikan kecupan manis kepadanya. Berikan hal ini setiap kali ia merasakan hal yang sama.

8. Jangan lupa juga untuk memberikannya pujian setiap kali ia berhasil tidak memakai empeng kesayangannya.

9. Hitung seberapa tahan anak berjuang untuk tidak memakai empengnya, satu hari, dua hari atau satu minggu. Jika berhasil, berikan hadiah atau reward yang berguna, seperti buku atau film. Bisa juga Moms mengajaknya ke tempat pembuatan kue atau membuat kerajinan tanah liat.

10. Berikan motivasi terus bahwa ketika si kecil akan masuk sekolah, semua teman-temannya sudah tidak ada lagi yang memakai empeng. Jika ada waktu luang, ajak anak ke sekolah untuk sekadar melihat aktivitas anak-anak sekolah yang semuanya sudah tidak mengempeng lagi.

Penting untuk Moms Ketahui!

Bayi pada usia tertentu memang memiliki dorongan alami untuk mengisap dan hal ini tidak selalu berarti buruk karena bayi bisa mengatur sendiri kenyamanannya. Dan kebiasaan ini harus dihentikan saat anak berusia 1-2 tahun. Oleh karenanya, hentikan secara bertahap penggunaan empeng ketika usia anak masih di bawah 2 tahun.

Hindari merusak empeng kesayangannya dengan cara merobeknya sedikit atau mengguntingnya ataupun membolonginya. Bongkahan kecilnya akan menyebar dan dapat mengakibatkan masuk ke dalam tenggorokan, tentu saja si kecil bisa tersedak.

Jangan Dibiarkan Terlalu Lama!

Mungkin awalnya Moms menganggap kebiasaan ngempeng sebagai hal yang lumrah dilakukan oleh anak-anak. Namun, tahukah Moms apa yang bisa diakibatkan dari terlalu lama ‘negmepng’ tersebut bagi si kecil?

Si kecil akan menutup mulut pada posisi yang tidak alami karena terdapat empeng di dalamnya, sehingga mempersulit perkembangan lidah dan otot mulut secara normal, akibatnya meminimalkan kemampuan berbicara. Si kecil bisa bermasalah dengan pengucapan kata atau konsonan tertentu seperti huruf “S” atau “Z”.

Memengaruhi pertumbuhan rahang, mengalami gangguan dalam pola makannya dan menghambat pertumbuhan giginya. Empeng juga bisa menyebabkan gigi tonggos.
Jika si toddler terus megempeng dapat berdampak bagi psikologisnya. Bukan tidak mungkin dia menjadi bahan kedekan teman-temannya. Akibatnya, si kecil jadi rendah diri. (Sumber: Tabloid Mom & Kiddie)

Selasa, 19 Juli 2011

Perlukah Anak menjalani PsikoTes?

Any Reputrawati, Psi, Psikolog dari RSJ Prof. DR. Soeroyo, Magelang - Jawa Tengah menyarankan Moms agar tidak sembarang melakukan tes terhadap si kecil.

“Jangan melakukan psikotes hanya karena ikut-ikutan atau tren! Biasanya karena melihat orangtua lain melakukan tes psikologi untuk anaknya, akan bermunculan orangtua lainnya yang ikut melakukan psikotes. Padahal belum tentu anaknya punya masalah psikologis. Kalau ada orangtua datang kepada kami, lalu ingin anaknya dites hanya karena orangtua ingin saja anaknya dites, biasanya kami suruh pulang!,” tegas Any.

Mengapa? Pada dasarnya tes psikologi dilakukan bila orangtua atau guru melihat adanya masalah pada anak. Misalnya anak menunjukkan gejala gangguan cemas di rumah atau saat prestasi belajarnya terus merosot. Masalah ini harus dicari penyebabnya agar kondisi dan perkembangan anak bisa berjalan dengan baik.

Kapan anak boleh ikut tes?

Berbeda dengan tes pada orang dewasa yang harus menyelesaikan semua tes psikologi (menggunakan kartu bergambar dan alat tes lainnya), tes pada anak-anak biasanya dilakukan dengan meminta mereka bercerita atau menggambar sesuatu yang sederhana. Cara ini diharapkan bisa memunculkan apa yang menjadi gangguan atau masalah psikologis yang dialami anak.

Mereka juga bisa diajak bermain dengan permainan yang sebenarnya diarahkan untuk menggali apa yang ia rasakan. Usia yang memungkinkan anak mengikuti tes psikologi berkisar 4 atau 5 tahun, ketika anak sudah bisa diajak bicara dua arah. Sementara untuk tes IQ, Any menyarankan agar tak dilakukan pada usia dini.

“Mengukur kecerdasan secara teori, ditentukan banyak faktor. Misal kemampuan bahasa, menghitung, daya ingat, nalar, persepsi ruang, faktor kematangan sosial dan lainnya. Sebaiknya tes IQ dilakukan saat anak sudah mulai sekolah (6 tahun), dimana kemampuan komunikasi dua arah sudah lancar,” jelas Any.

Perlu Moms ketahui, tes psikologi hanya dapat diulang setahun sekali. Kalau dilakukan < 1 tahun, tidak akan bermanfaat sebab selama rentang waktu itu, performa anak tidak mengalami perubahan secara signifikan.

“Skor tes psikologi tidak bisa dimiliki orangtua, score test record hanya dipegang psikolog yang bersangkutan. Yang akan diberikan kepada Moms and Dads hanya kesimpulan dari serangkaian hasil tes secara keseluruhan, berupa uraian, tanpa skor apapun,” imbuh Any.

Saat ini banyak dilakukan tes psikologi untuk anak-anak usia TK yang akan melanjutkan ke sekolah dasar. “Tes ini untuk mengukur kemampuan dan kesiapan anak untuk sekolah. Hasil tes akan menunjukkan apakah anak sudah memiliki kematangan emosional, kemampuan melakukan interaksi sosial, mampu mengenali abjad dan sebagainya. Tes sebaiknya dilakukan paling cepat 6 bulan sebelum masuk SD,” anjurnya.


Analisis sidik jari

Kehadiran tes yang satu ini kerap menuai kontroversi. Bahkan Guru Besar Psikologi UI, Prof. DR. Sarlito Wirawan Sarwono menentang penggunaan metoda analisis sidik jari (http://news.okezone.com/read/2011/05/15/58/457267/sidik-jari).

Menurut Prof. Sarlito, pandangan bahwa kepribadian ditentukan faktor bawaan (nativisme) sudah lama ditinggalkan psikologi. Teori yang berlaku sekarang adalah kepribadian ditentukan oleh pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Untuk memeriksanya diperlukan proses panjang (metoda psikodiagnostik, assessment).

Di sisi lain, Andrian Benny Hidayat, Direktur Psychobiometric Lab RD Talent Spectrum Fingerprint Analysis menanggapi santai pelbagai komentar miring tentang validitas dan komersialisme yang ditujukan untuk metode analisis sidik jari.

“Adalah persoalan klasik, ketika ada metoda baru yang prospektif karena merupakan harapan dan kebutuhan pasar, fingerprint analysis tidak terlepas dari upaya-upaya komersialisasi. Itu wajar, dan tidak perlu dikhawatirkan selama tidak mengandung unsur penipuan, maupun hal-hal lain yang bisa menimbulkan kerugian kelak di kalangan penggunanya,” jelas Andrian.

Ia melanjutkan, “Tuduhan bahwa fingerprint analysis dijual dengan harga sangat tinggi, maka masalah harga terletak pada kondisi market, berkaitan supply and demands. Ditambah faktor teknologi dan aplikasinya yang berkaitan dengan HAKI (Hak atas Kekayaan Intelektual), biaya research dan operasional menjadi bahan pertimbangan itu semua. Perlu diingat, yang dijual adalah produk dan jasanya, bukan pada knowledges-nya. Termasuk tidak beretika, apabila developer fingerprint analysis tidak melakukan transparansi mengenai basic knowledge formulasi dan metoda pengukurannya.”

Manfaat analisis sidik jari

Sidik jari muncul saat janin berusia 13 minggu. Menurut Andrian, kira-kira memasuki usia 4 bulan, tes sidik jari sudah bisa dilakukan. Dari sini dapat diketahui gaya belajar, kemampuan soft skill, tipe eksplorasi anak, serta potensi dan bakat anak. Sedangkan analisis sidik jari bagi Moms, dapat pula terkuak pola gaya asuhnya.

Konon, analisis sidik jari memiliki akurasi yang lebih tinggi ketimbang tes psikologi, angkanya mencapai 87,91 persen, sedangkan tes psikologi hanya 65 persen.
Menurut Andrian, analisis sidik jari memberikan hasil yang tetap, meski diulang beberapa kali atau sampai individu meninggal.

“Hal ini disebabkan sidik jari bersifat permanen, spesifik, klasifikatif, bahkan jika terluka pun, sidik jari tidak akan mengalami perubahan, baru akan hilang jika terbakar. Berbeda dengan tes psikologi, yang umumnya hasil yang diperoleh dipengaruhi situasi diri yang dialami individu saat melaksanakan tes. Dengan begitu, hasil yang diperoleh bisa berbeda setiap saat,” imbuh Andrian.

Proses analisis sidik jari cukup singkat. Sepuluh jari ditempelkan pada sebuah alat khusus secara bergantian. Setelah itu dalam layar komputer – melalui program khusus - akan muncul lubang-lubang serta guratan sidik jari. Dari sanalah kepribadian anak akan dianalisis, selang beberapa menit hasilnya dapat diketahui. Konon, tes sidik jari bisa pula digunakan untuk membantu proses terapi anak down syndrome. (Sumber: Tabloid Mom & Kiddie)

Senin, 11 Juli 2011

Efek Samping Terlalu Lama Menonton TV

Sebagian besar masyarakat menghabiskan waktunya dengan menonton televisi di rumah apabila tidak ada kesibukan. Ada yang beranggapan, menghabiskan waktu dengan menonton televisi membuat hidup menjadi lebih berkualitas.

Banyak informasi dan pengetahuan yang dapat diperoleh dari menonton televisi. Tetapi pada kenyataannya, terlalu lama menonton layar kaca justru dapat berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental Anda.

Berikut ini adalah sejumlah penyakit yang mungkin bisa menimpa Anda jika terlalu lama menghabiskan waktu di depan televisi :

1. Risiko sakit jantung

Berdasarkan analisis data yang dikumpulkan selama enam tahun dengan melibatkan 8.800 laki-laki dan perempuan di Australia (usia 25 yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung), peneliti menemukan bahwa setiap satu jam menonton TV dapat meningkat risiko kematian akibat serangan jantung sebesar 18 % dan risiko kematian akibat kanker sebesar 9 %. Ini berarti bahwa orang yang menonton TV lebih dari empat jam memiliki 80 % peningkatan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskuler selama periode waktu 6 tahun dibandingkan orang yang menonton kurang dari 2 jam setiap harinya.

2. Gangguan tidur

Terlalu sering menonton TV dapat mengurangi kadar hormon melatonin di otak yang dapat mempengaruhi ritme alami tubuh sehingga membuat Anda terjaga lebih lama, tidur tidak teratur dan lelah. Berkurangnya level melatonin juga kerap dikaitkan dengan pubertas dini pada anak perempuan.

3. Diabetes

Sebuah studi pada perempuan yang diterbitkan Journal of American Medical Association tahun 2003 menunjukkan, risiko diabetes meningkat sebesar 14 % pada mereka yang menonton TV selama 2 dalam sehari. Penelitian lain juga menemukan bahwa pria yang menonton TV lebih dari 40 jam seminggu, 3 kali lebih berisiko menderita diabetes tipe 2 daripada pria yang menonton TV kurang dari 1 jam setiap minggunya.

4. Obesitas

Menonton televisi terlampau sering membuat otot Anda tidak bergerak. Jika otot-otot Anda tidak aktif dalam jangka waktu yang sangat lama, dapat mengganggu metabolisme dan menyebabkan kenaikan berat badan.

 5. Attention Deficit Disorder (ADD)

ADD adalah gangguan pemusatan perhatian/konsentrasi dan sifat impulsif yang tidak sesuai pada umur anak, bahkan beberapa anak dapat menunjukkan sifat hiperaktif. Penelitian di University of Washington Child Health Institute menemukan bahwa pada anak usia 3 (tiga) tahun yang menonton TV dua jam per hari, 20% berisiko memiliki masalah gangguan perhatian pada usia 7 tahun dibandingkan anak-anak tidak menonton televisi.

6. Peningkatan risiko asma

Di Inggris, sebuah penelitian mempelajari kebiasaan menonton TV lebih dari 3.000 anak-anak mulai usia bayi sampai 11 tahun. Hasil penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang menghabiskan 2 jam atau lebih menonton televisi per hari, dua kali lebih berisiko menderita asma.

7. Mindless eating

Banyak orang tidak sadar, bahwa ketika menonton televisi Anda memiliki kesempatan lebih banyak makan dibandingkan saat melakukan kegiatan lain.

8. Memberi efek negatif pada mental

Menonton TV untuk jangka waktu lama memiliki efek negatif pada perkembangan intelektual anak. American Academy of Pediatrics melarang anak-anak dibawah 2 tahun untuk menonton TV dan merekomendasikan pada anak usia diatas 2 tahun untuk tidak menonton TV lebih dari dua jam sehari.

9. Sakit mata

Menonton televisi terlalu banyak buruk bagi mata Anda, terutama ketika menonton televisi di ruangan gelap. Memfokuskan mata Anda terlalu lama pada salah satu objek dapat membuat mata Anda tegang.

10. Perilaku agresif

Anak-anak kecil lebih mungkin untuk menunjukkan perilaku agresif setelah melihat acara TV atau film kekerasan. Sebuah penelitian yang melibatkan lebih dari 3.000 anak usia 3 tahun menemukan bahwa anak-anak yang terlalu sering menonton TV, secara langsung atau pun tidak, akan berisiko untuk memamerkan perilaku agresif.

11. Kurang sosialisasi

Terlalu sering menonton televisi dapat mengurangi interaksi sosial Anda dengan teman dan keluarga. Hal ini dapat menyebabkan berbagai fobia sosial.

Ref

Cinta atau Karier Nich....?

MAUKAH Anda menikahi seseorang pengangguran? Bagaimana jika Anda sendiri yang menganggur? Jika Anda menjawab "tidak" pada pertanyaan tersebut, Anda tidak sendirian.

Menurut survei terbaru yang dirilis Yourtango dan ForbesWoman, 75 persen wanita tidak akan menikahi seorang pria yang menganggur dan 65 persen tidak akan mengikat simpul pernikahan jika mereka sendiri adalah pengangguran.


"Meningkat hingga 9,1 persen, pengangguran merupakan masalah yang semakin luas, terutama bagi wanita karena mereka mempertimbangkan stabilitas finansial dan emosional dari calon pasangan hidup mereka," kata Andrea Miller selaku pendiri dan CEO Yourtango, seperti dilansir Youtango, Kamis (7/7/2011).

"Dari kesulitan uang hingga perasaan kebencian, pengangguran dapat menciptakan ketegangan besar pada hubungan. Sebelum wanita masuk ke dalam komitmen seumur hidup, mereka ingin merasa aman dengan apa yang dibawa pasangannya untuk mereka," tambahnya.

Meskipun demikian, lebih dari 91 persen wanita lajang mengatakan akan menikah atas dasar cinta daripada uang.

"Sungguh ironis bahwa wanita ternyata lebih berat memilih cinta daripada uang, namun tidak akan menikah jika mereka atau peminangnya berpotensi menganggur," kata Meghan Casserly, juru bicara ForbesWoman.

"Pekerjaan dapat membuat sekaligus menghancurkan hubungan dan hasil survei menunjukkan karier memegang peran penting dalam percintaan," tambahnya.

Lebih lanjut, survei bertajuk “Career and Love” ini juga menemukan:

Terjaga di malam hari

Sebanyak 40 persen wanita yang punya kekasih mengatakan, tanggung jawab pekerjaan paling mungkin untuk membuat mereka begadang ketimbang tanggung jawab kehidupan cinta.

Penghasilan lebih tinggi

Sebanyak 32 persen wanita yang memiliki kekasih mengatakan, mereka punya lebih banyak penghasilan daripada pasangannya. Di antara itu, 50 persen mengaku akan tetap menikahi pria yang pendapatannya lebih rendah dari mereka sedangkan 41 persen mengatakan sebaliknya.

Karier dan anak

Sebanyak 55 persen wanita mengatakan mau melepaskan karier demi mengurus anak-anak jika pasangan memintanya; hanya 28 persen akan meminta hal yang sama dari pasangan mereka.

Me time

Jika wanita mendapatkan satu jam tambahan setiap hari, 42 persen akan menghabiskannya untuk diri sendiri (me time), setelah menghabiskan waktu bersama pasangan, teman, keluarga, dan pekerjaan mereka.

Karier dan cinta jalan beriringan

Sebanyak 77 persen wanita percaya bahwa secara bersamaan mereka dapat memiliki hubungan dan kehidupan keluarga yang memuaskan serta karier yang sukses.