Minggu, 25 Desember 2011

Panduan Mainan yang sesuai Usia Si Kecil..

Saat kita memasuki toko mainan, kita mungkin terpana melihat begitu banyaknya jenis mainan yang disediakan. Begitu banyak, hingga kita mengurungkan niat untuk membeli mainan untuk anak kita. Toh, si kecil juga tetap asyik meskipun "mainannya" hanya toples berisi permen yang berulangkali dituang dan dimasukkan kembali. Atau, serbet yang berulangkali diseretnya dengan kaki ke sana-kemari.

Namun, kita perlu mengingat, mainan yang baik haruslah yang mendorong tumbuh-kembang anak. Mainan tersebut juga harus disesuaikan dengan karakter anak. Apa yang cocok untuk anak lain, belum tentu disukai anak kita. Mainan tidak boleh terlalu sulit, karena akan membuatnya frustrasi. Jika terlalu mudah, akan membuatnya bosan. Kemudian, menurut Alvin Eden, M.D., profesor klinis di jurusan Pediatrics, Weil Medical College of Cornell University, New York, saat memilih mainan anak, kita harus mempertimbangkan tingkat keamanannya. Pada dasarnya mainan tidak boleh memiliki sudut yang tajam, bagian-bagian yang mudah dilepas, tidak mudah patah atau pecah, berukuran cukup besar sehingga tidak dapat dimasukkan ke mulut dan ditelan.

Berikut adalah beberapa permainan sesuai usia anak, sesuai saran Eden:

Usia 0-1 tahun
Pastikan mainan tidak mudah terbakar, tidak beracun, dan dapat dicuci. Boneka binatang sebaiknya merupakan satu bagian; bila ada tangan atau kaki juga tersambung dengan aman. Bagian wajah sebaiknya dilukis atau dibordir, sehingga tidak ada mata dari kancing yang bisa ditarik dan dilepas lalu ditelan. Mainan yang kecil dan ringan lebih mudah dipegang dan dipeluk oleh anak usia ini.

Mainan yang bergerak membantu mengembangkan kemampuan bayi untuk menaruh perhatian pada obyek. Bola yang mengeluarkan suara atau memiliki bagian-bagian yang bergerak di dalamnya memberikan stimulasi motorik, visual, dan pendengaran, serta membantu mengembangkan gerakan mata, merangkak, dan meningkatkan kemampuan motorik. Namun pastikan ia tidak dapat mengeluarkan bagian yang bergerak-gerak tersebut. Mainan yang bergemerincing juga akan menarik perhatian bayi melalui warna, suara, sentuhan, dan rasanya. Gelang-gelang yang didesain untuk merangsang pertumbuhan gigi boleh diberikan, asal tidak mudah patah, tidak ada bagian yang longgar, dan dapat dicuci.  

Usia 12-18 bulan
Pada tahap ini, bayi sudah bisa berdiri dan duduk, namun ada yang belum bisa berjalan sendiri. Mereka senang memindah-mindahkan obyek, seperti mainan yang bisa ditarik-ulur dan menimbulkan bunyi, mainan yang bisa dibuka-tutup, memencet tombol, dan main ciluk-ba. Bayi juga senang bermain menyusun kotak, namun pilih kotak yang ditutup dengan kain yang lembut dan ringan. Tak perlu menyediakan terlalu banyak kotak, karena akan membingungkan anak.

Bayi senang dengan mainan yang dapat ditumpangi seperti mobil-mobilan, namun mainan ini berbahaya untuk anak yang belum bisa berjalan. Pastikan anak dapat naik-turun mainan dengan mudah, dan dapat melakukan manuver sendiri. Mainan yang bisa ditarik-ulur juga baik untuk anak yang sudah bisa berjalan.

Usia 18-24 bulan
Anak usia ini sudah mulai berbicara, dan tertarik dengan ukuran dan peletakan barang. Menyusun kotak berukuran besar akan menarik hatinya. Mulailah dengan satu set berukuran kecil, dan ganti dengan yang berukuran besar begitu minat anak berkembang. Kotak yang diberi wadah membuatnya asyik memasukkan dan mengeluarkan.

Mainan telepon memberikan anak terlibat dalam kegiatan orang dewasa, dan anak suka dengan suaranya. Bentuknya yang menyerupai tokoh kartun membantu anak tetap tertarik. Mainan mengenal bentuk mendorong anak untuk menggabung-gabungkan potongannya. Hal ini membantu mengembangkan koordinasi mata dan tangan, kemampuan mencari pasangannya, dan mengenali bentuk. Namun potongan mainan sebaiknya tidak terlalu banyak.

Mainan lain yang cukup baik antara lain bus dengan penumpang yang bisa dikeluarkan, hand puppets, atau boneka. Bermain dengan boneka bayi dan trolley-nya membantu anak mengembangkan imajinasi, bermain peran, dan membangun kemampuan sosial, selain membantu meningkatkan kemampuan motoriknya.

Usia 2-3 tahun
Anak sudah semakin kreatif. Mereka menyukai kegiatan orang dewasa, dan mainan yang realistis akan menstimulasi otak mereka. Kelompok usia ini juga menggemari mainan yang membutuhkan gerak dan ketangkasan.

Mainan atau boneka yang bisa berbicara, atau mainan instrumen musik juga populer. Semakin banyak fitur yang ditampilkan, semakin anak suka, selama masih mudah digunakan. Mobil-mobilan seperti truk baik untuk kegiatan di dalam atau luar rumah, begitu juga sandbox lengkap dengan ember dan sekop untuk menggali atau mengeruk pasir. Kereta api juga menyenangkan, karena anak bisa belajar meletakkan dan memungut kereta dari relnya.

Anak juga sudah bisa bermain puzzle yang sederhana. Permainan ini menguatkan koordinasi mata dan tangan, kemampuan mencocokkan, dan mengenali bentuk, serta akan membuatnya terus penasaran, sejauh sesuai dengan tingkat kemampuannya. Potongannya sebaiknya tidak terlalu kecil, supaya tidak mudah dimasukkan ke mulutnya juga. Mainan yang menunjukkan profesi, seperti perangkat kedokteran, atau memasak, juga mendorong kreativitasnya.

Usia 3-5 tahun
Anak-anak usia ini mulai menikmati kegiatan menggambar, mencoret-coret, dan memberi warna. Memberikan kertas dan krayon juga akan mendorong kemampuannya menulis. Mencoret-coret akan meningkatkan imajinasi dan kreativitas, dan menjadi sarana yang baik untuk mengekspresikan emosinya.

Permainan yang menggunakan papan (board games) seperti ular tangga mempertajam kemampuan visualisasi dan memorinya, karena membutuhkan imajinasi atau perhitungan mental. Permainan lain yang bisa mulai diperkenalkan adalah buku cerita, mainan untuk membangun sesuatu, mengenakan pakaian pada boneka dan berbagai aksesorinya, rumah-rumahan, puzzle dengan tingkat kesulitan yang disesuaikan, dan sepeda.

Sabtu, 24 Desember 2011

Pijat Bayi agar merasa Nyaman

Mengasuh bayi tak hanya memberinya makan, minum, dan mainan. Bayi perlu perhatian termasuk dipijat, dibelai, dan disayang. Hasilnya ia akan sehat, bahagia, dan percaya diri. Syaratnya, yang memijat adalah orangtua atau orang terdekat si bayi. Bisa kakek, nenek, atau baby sitter tetapi bukan terapis atau tukang pijat.

Kenapa yang memijat adalah orangtua atau orang terdekat si bayi? Menurut Rina Poerwadi seorang instruktur  pijat bayi bersertifikat (certified infant massage instructor), pada situasi ini terjadi proses pembelajaran baik kepada si bayi maupun orangtuanya. Ketika dipijat, bayi belajar mengenali suara orangtua, bau, dan sentuhannya. Jika prosesnya benar, ketika dipijat, bayi akan merasa aman dan nyaman. Tidak meronta-ronta apalagi menangis keras. Bayi dan orangtua saling bekerjasama. Tidak ada unsur pemaksaan, dan keduanya menikmati kebersamaan.


Pada saat pemijatan terbentuk suasana kebersamaan dan pengikat tali kasih (intimacy and bonding) antara orangtua dan anak. Perhatian dan kasih sayang orangtua langsung dirasakan oleh bayi. Peristiwa keintiman dan mengikatnya tali kasih ini akan terekam oleh keduanya, seumur hidup. Sentuhan dan pijatan kasih ini akan menjadi alat komunikasi yang paling jitu antara orangtua dan anak bila suatu saat nanti terjadi ketegangan emosional di antara mereka.


Pijatan juga memberi kesempatan keduanya untuk saling berekspresi. Meskipun bayi belum bisa mengutarakan secara jelas maksudnya kepada orangtua, bahasa tubuh adalah bentuk komunikasi secara langsung. Secara jelas tampak di wajah si mungil kegembiraan, kepercayaan diri, dan perasaan relaks. Selama memijat si mungil, Anda tentu harus menjaga kontak mata, mencium, mengelusnya dengan lembut, termasuk mengajaknya berbicara. Tindakan ini akan menjaga kedekatan hubungan Anda dengan bayi. Meskipun tampaknya hanya sekadar memijat, Anda sudah meningkatkan kelekatan emosional dengan dia.

Jumat, 09 Desember 2011

Akibat OrangTua Pilih Kasih ke Anak

Apakah Anda sudah menjadi ibu yang adil terhadap anak-anak di rumah? Studi menunjukkan bahwa ibu yang memperlihatkan pilih kasih atau favoritisme terhadap salah satu anaknya akan meningkatkan potensi depresi terhadap anak-anaknya yang lain saat dewasa.

Pakar Universitas Cornell Karl Pillemer dan sosiolog Universitas Purdue Jill Suitor melakukan penelitian terhadap 275 keluarga besar terkait efek berbahaya yang menimpa anak saat mereka dewasa. Penelitian juga menilai faktor-faktor luar seperti ukuran keluarga dan ras. 

Favoritisme yang dilakukan orangtua memperjelas dampak kesehatan mental anak. "Favoritisme ibu berpengaruh pada perkembangan psikologis anak, bahkan setelah mereka tumbuh dewasa dan memulai keluarga sendiri," kata Pillemer, Profesor Departemen Pembangunan Manusia dan di Cornell's College. 

"Persepsi perlakuan pilih kasih merusak psikologis anak-anak yang lain yang  akan mereka terapkan pada keluarga yang mereka bangun," seperti dikutip dari Aol Health. Studi ini memperjelas detail timbulnya masalah perilaku pada anak, remaja dan dewasa muda akibat ibu yang pilih kasih.

Pillemer berharap temuan ini bisa membuka terapi penanganan masalah keluarga dan mencegah konflik yang timbul akibat prilaku pilih kasih. Hasil penelitian dipublikasikan dalam Journal of Marriage and Family edisi April 2010.

Kamis, 08 Desember 2011

Anak yang Pilih-pilih Makanan Gampang Alergi Saat Dewasa

Kebiasaan pilih-pilih makanan pada anak tak hanya menyebabkan gizinya tidak seimbang, tetapi juga berisiko memicu alergi saat dewasa. Sistem kekebalan tubuhnya jadi tidak terbiasa menyesuaikan diri dengan makanan-makanan pemicu alergi.

Selera anak kecil seringkali memang susah dituruti, maunya makan ini itu dan belum tentu mau kalau diberi makanan yang bergizi. Bahkan adakalanya kebiasaan pilih-pilih makanan juga datang dari orangtua, yang secara naluriah tidak ingin anaknya makan makanan berbahaya.

Menurut sebuah penelitian terbaru, kebiasaan pilih-pilih makanan memberikan dampak yang tidak diharapkan pada beberapa anak ketika tumbuh dewasa. Anak-anak yang sejak kecil memang punya tubuh sangat sensitif jadi semakin rentan mengalami alergi saat dewasa.

Para peneliti menduga, kebiasaan pilih-pilih makanan akan membuat anak-anak hanya terpapar makanan yang itu-itu saja. Akibatnya tubuh tidak akan terbiasa untuk menyesuaikan diri dengan makanan tertentu seperti kacang yang berpotensi memicu alergi.

"Idenya adalah bahwa melindungi anak dalam sebuah imunological cocoon (ibarat kepompong sistem imun) dan tidak mengeksposnya dengan protein bisa memicu reaksi alergi di kemudian hari," kata Prof Gideon Lack dari Kings College London seperti dikutip dari Telegraph, Kamis (24/11/2011).

Kesimpulan itu ditarik setelah para ilmuwan dari Kings College London, Cambridge University dan Duke University membandingkan 640 bayi di Inggris dan Israel. Pengamatan dilakukan dari tahun 2006, lalu diikuti selama kurun waktu beberapa tahun kemudian.

Secara kultural, bayi-bayi di Inggris umumnya tidak boleh makan kacang oleh orangtuanya agar tidak alergi. Saat tumbuh dewasa, bayi-bayi tersebut malah 10 kali lebih rentan alergi dibandingkan bayi-bayi lain di Israel yang tidak pernah dilarang makan kacang oleh orangtuanya

Bayi Sudah Belajar Mempercayai Orang Sejak Umur 1 Tahun

Dengan alasan apapun, orangtua sebaiknya selalu jujur jika tidak ingin dicap pembohong oleh anaknya. Sejak umur 1 tahun, anak bayi sudah belajar mempercayai orang dan mengingat-ingat siapa saja orang yang tidak layak untuk dipercaya.

Saat bicaranya saja belum lancar, bayi umur 13-16 bulan sudah bisa mengenali kejujuran seseorang lewat gaya bicara dan ekspresi wajah. Sekali orang itu berbohong, suara dan ekspresinya akan diingat dan untuk seterusnya bayi tersebut tidak akan percaya lagi kepadanya.

Temuan ini terungkap dalam sebuah penelitian yang dimuat dalam jurnal Infant and Development ini menegaskan berbagai penelitian sebelumnya, bahwa ingatan anak sudah terbentuk sejak usia yang sangat dini. Kali ini lebih spesifik, yakni ingatan tentang kejujuran.

"Seperti anak di usia yang lebih dewasa, bayi belajar untuk mengingat-ingat riwayat kejujuran seseorang dengan tingkat akurasi tertentu," ungkap Prof Diane Poulin-Dubois, seorang psikolog dari Concordia University seperti dikutip dari Dawn.com, Kamis (8/12/2011).

Dalam penelitian tersebut, Prof Poulin-Dubois melibatkan beberapa bayi berusia 13-16 bulan yang masing-masing didampingi oleh satu orang dewasa. Eksperimen dilakukan 2 kali, masing-masing melibatkan interaksi antara bayi dengan pendampingnya.

Pada eksperimen pertama, pendamping diminta melongok isi boks dan berpura-pura girang seolah ada mainan di dalam boks tersebut. Harapannya bayi akan penasaran dan ikut-ikutan melongok isi boks, lalu sebagian akan tertipu karena boksnya sengaja tidak diisi mainan.

Pada eksperimen kedua, pendamping yang sukses menipu bayinya sudah tidak dipercaya lagi. Di antara bayi yang tertipu di eksperimen pertama, hanya 34 persen yang masih terpancing oleh pendamping untuk menyalakan lampu mainan dengan jidat dan bukan dengan tangan.

Bayi yang tidak ditipu pada eksperimen pertama, dalam arti benar-benar menemukan ada mainan di dalam boks cenderung tetap percaya pada pendampingnya. Pada eksperimen kedua, sebanyak 61 persen bayi masih mau mengikuti pendamping untuk menyalakan lampu mainan dengan jidatnya.

Rabu, 07 Desember 2011

Kemampuan Bicara Pengaruhi Prestasi Anak

Sejak bulan-bulan awal kelahirannya, bayi mulai mengembangkan kemampuan berkomunikasi secara lisan. Kata-kata pertama umumnya mulai muncul saat usia anak mendekati satu tahun.

Jika anak masih sulit berbicara pada usia dua tahun, ada baiknya orangtua lebih perhatian atas kemampuan berbahasa si kecil. Sebuah studi terbaru yang dirilis Jurnal Parent and Children menyebut, anak yang masih berjuang untuk berbicara pada usia dua tahun lebih cenderung kesulitan belajar saat masuk sekolah dasar.

Studi yang melibatkan lebih dari 9.000 anak ini juga menunjukkan, anak yang banyak melakukan aktivitas yang melibatkan buku dan perpustakaan seperti mendongeng pada usia dua tahun ke atas memiliki prestasi yang lebih baik dibanding teman sebaya saat bersekolah.

Penelitian ini dilakukan oleh peneliti Universitas Edinburgh, Universitas Inggris, Universitas Bristol dan Universitas Sheffield. Ilmuwan melihat bagaimana lingkungan anak belajar berkomunikasi memengaruhi kesiapan mereka bersekolah.


Temuan menunjukkan, pemahaman dan penggunaan kata, kemampuan anak merangkai dua atau tiga kalimat kata pada usia dua tahun sangat terkait dengan kemampuan mereka ketika mulai sekolah.

"Perkembangan bahasa pada usia dua tahun dapat digunakan untuk memprediksi anak-anak pada masuk ke sekolah dasar," ucap peneliti seperti dikutip dari Scotsman.
Menurut ahli, supaya anak mengembangkan kemampuan berbahasa, ajak dia berkomunikasi. Sembari mengucapkan kalimat, beri bahasa isyarat yang sesuai. Perlahan, ia akan mengerti satu isyarat berarti satu kata tertentu. Dia pun akan makin fasih berbicara. Aktivitas mendongeng sebelum tidur juga terbukti membantu kemampuan berbahasa anak

Usia 15 Bulan, Bayi Bedakan Benar dan Salah

Kemampuan untuk membedakan antara benar dan salah sebenarnya sudah dimiliki sejak Anda bayi. Pada usia 15 bulan, bayi sudah menunjukkan pemahaman yang baik tentang apa yang adil dan tidak adil dan juga lebih ingin berbagi dengan orang lain.

Hal ini merupakan temuan tim peneliti dari University of Washington, Amerika Serikat. Bayi yang terlibat dalam penelitian ternyata mampu membedakan antara distribusi makanan yang sama dan tidak merata.

Menurut peneliti ini menunjukkan kesadaran awal mereka tentang pengertian keadilan. Hal ini juga dipandang sebagai hubungan antara seberapa sensitif bayi terhadap perilaku adil.

"Temuan kami menunjukkan bahwa norma-norma keadilan lebih cepat diperoleh dari yang dipikirkan," kata Jessica Sommerville, profesor psikologi University of Washington, dikutip dari Daily Mail.

Penelitian yang dipublikasi dalam Journal PLoS ONE ini, menampilkan dua video singkat bayi berusia 15 bulan. Pada video pertama, terlihat semangkuk kerupuk cracker didistribusikan dan salah satu bayi mendapat porsi yang lebih banyak. Sementara, pada video kedua, diperlihatkan bayi yang diberikan susu dengan porsi yang sama.

Para ilmuwan mengukur waktu masing-masing bayi melihat bagaimana makanan itu telah didistribusikan. Termasuk reaksi para bayi saat makanan dan susu dibagikan. Mereka menemukan bahwa bayi menghabiskan lebih banyak waktu untuk memerhatikan saat makanan dibagikan lebih banyak pada orang lain.

"Bayi mengharapkan distribusi yang sama dan adil dari makanan. Mereka terkejut ketika melihat bayi lain mendapat cracker atau susu lebih dari yang lain," kata Sommerville.

Penelitian sebelumnya menemukan, konsep adil dan perbedaan benar dan salah baru bisa dimengerti ketika anak berusia antara enam hingga tujuh tahun. Padahal, sejak usia 15 bulan anak sudah memiliki ide antara adil dan tidak adil dengan melihat bagaimana sikap orang lain. Jadi, mulailah bersikap adil pada buah hati, sejak ia masih bayi

Sabtu, 03 Desember 2011

Hindari Bertengkar di depan Anak


 Dalam sebuah pernikahan, pertengkaran menjadi salah satu bumbu-bumbu di dalamnya. Namun, pertengkaran di depan anak-anak berdampak buruk bagi pertumbuhan. Khususnya pada kesehatan mental mereka.

Baru-baru ini dilakukan penelitian terhadap 3.023 orang dewasa di Paris yang mengalami depresi karena beberapa faktor seperti kekerasan terhadap anak kecil, kekerasan terhadap pasangan, percobaan bunuh diri dan ketergantungan terhadap alkohol, seperti yang dikutip dari health24.16 persen di antara responden yang diteliti mengaku pernah menjadi saksi kekerasan rumah tangga di masa kecilnya. Hal tersebut yang membuat para peneliti untuk mencari tahu lebih jauh tentang pengaruh dari kekerasan rumah tangga.

Hasil yang didapat oleh Christelle Roustit dan rekan dari Institut Kesehatan Nasional dan
Penelitian Medis, Perancis menyimpulkan bahwa orang yang pernah menjadi saksi kekerasan antar orang tua, 1,4 kali lebih berpotensi mengalami depresi.

Bukan hanya depresi saja, mereka yang pada masa kecilnya menjadi saksi kekerasan orang tuanya juga berpotensi 3 kali lipat untuk terlibat dalam kekerasan dengan pasangan secara intim. Mereka juga memiliki kemungkinan lima kali lipat lebih berpotensi melakukan kekerasan kepada anak, serta 1,75 kali lipat cenderung bergantung kepada alkohol. Kesimpulan yang cukup mengagetkan ini membuat Roustit dan rekan sangat peduli akan hal

ini. "Intensifikasi pencegahan dan penyaringan untuk kekerasan, termasuk kekerasan antar orang tua, merupakan masalah kesehatan masyarakat untuk kesejahteraan generasi masa depan," dikatakan Roustit

Ikatan kuat dengan ibu mempermudah Anak Bersosialisasi


Ikatan yang kuat antara sang ibu dan anak ternyata berpengaruh positif terhadap cara si kecil bersosialisasi. Menurut penelitian, anak yang dekat dengan ibunya akan lebih mudah mendapatkan teman.

"Fakta yang meyakinkan, hubungan emosional yang terbuka antara ibu dan anak, akan membantu anak-anak lebih bisa mengembangkan segala sesuatu lebih positif sehingga mengurangi prasangka terhadap yang lain. Ini juga bisa membantu menjalin persahabatan yang lebih baik selama masa awal sekolah," ujar peneliti Nancy McElwain dari University of Illinois, seperti dikutip dari Livescience.

McElwain dan tim, meneliti 1.071 anak-anak dari National Institute of Child Health and Human Development Study of Early Child Care and Youth Development. Dalam penelitian tersebut, ditemukan bahwa hubungan antara ibu dan anak dimulai saat usia 3 tahun. Bagaimana terbukanya ibu terhadap anak-anak maupun sebaliknya serta komunikasi mengenai emosional sudah terjalin saat anak-anak berusia 4-4,5 tahun.

Pada usia 4-4,5 tahun dan mulai masuk taman kanak-kanak, anak-anak dinilai dalam kemampuan bahasa dan bagaimana anak-anak tersebut berinteraksi terhadap sesama teman dalam situasi sosial yang baru. Selain itu, guru dan ibu diminta untuk melaporkan bagaimana kualitas hubungan anak-anak dengan teman dekatnya di kelas.

Anak-anak yang memiliki hubungan yang dekat dengan ibunya akan mulai terbuka secara emosional pada usia 3 tahun dan memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik saat berusia 4-4,5 tahun.

Hasil ini menunjukkan bahwa cara anak menafsirkan kelakuan orang lain mungkin dimulai dari perkembangan awal dari hubungan di dalam keluarga, dan interpretasi ini menjadi penting untuk membantu anak mendapatkan teman-teman baru suatu saat nanti.

"Ketika anak-anak merasa nyaman berbicara tentang emosinya khususnya emosi yang negatif, ini akan meningkatkan persaingan sosial dengan teman sekelas dan membantu anak lebih mudah untuk mendapatkan teman," ujarnya.

Anak Tidur Malam saat Weekend rawan obesitas


 Anda selalu mengizinkan anak-anak tidur larut saat weekend? Hati-hatilah karena menurut sebuah penelitian, anak-anak yang melakukan hal itu akan lebih mudah mengalami obesitas.

Penelitian tersebut dilakukan oleh Universitas Chicago dan dirilis dalam American Journal Pediatrics. Ada 308 anak-anak berusia 4-10 tahun yang diteliti.

Dalam penelitian tersebut, masing-masing anak diukur indeks massa tubuhnya. Pola tidur mereka juga diteliti menggunakan sensor gerak yang dipasang seperti gelang.

Dilansir Telegraph, dari penelitian itu diketahui, anak-anak yang tidur lebih cepat di saat weekend, bisa mengejar waktu tidurnya yang kurang selama hari biasa. Mereka pun cenderung lebih kurus.

Sedangkan anak-anak yang dibiarkan tidur larut malam saat weekend memiliki kecenderungan obesitas. Anak-anak ini juga cenderung memiliki pola tidur yang pendek dan tidak teratur.

Kurang tidur dipercaya bisa meningkatkan produksi ghrelin. Ghrelin adalah hormon yang dihasilkan di dalam perut yang mengatur nafsu makan dan bagaimana tubuh menyimpan lemak.

Kurang tidur juga bisa mengurangi jumlah hormon Leptin, hormon yang berfungsi untuk menurunkan nafsu makan dan memicu tubuh untuk menggunakan energi lebih banyak.

Para peneliti pun menyarankan agar setiap keluarga mengetahui pentingnya tidur cukup. Tidur cukup dan teratur penting untuk menurunkan risiko obesitas dan metabolisme tubuh pun lebih baik.

ASI terbukti Menaikkan IQ anak

ASI adalah makanan dan minuman terbaik untuk bayi. Masih meragukannya? Penelitian terbaru menunjukkan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif akan tumbuh menjadi anak yang lebih pintar dalam membaca, menulis dan matematika.

Dilansir Daily Mail, penelitian tersebut dibuat oleh Oxford University dan Institute for Social and Economic Research. Ada lebih dari 10 ribu anak yang menjadi responden penelitian itu.

Dalam penelitian itu, peneliti melihat skor tes murid-murid yang dulu mendapatkan ASI sampai usia mereka empat minggu dan dibandingkan dengan murid-murid yang diberi susu formula sejak baru lahir.

Menurut hasil penelitian tersebut, bayi yang mendapatkan ASI eksklusif akan tumbuh menjadi anak yang lebih pintar. IQ bayi ASI lebih tinggi 3-5 poin ketimbang yang tidak disusui.

Begitu hebatnya ASI, efeknya langsung terlihat pada bayi yang baru empat minggu disusui ibu. Berdasarkan penelitian tersebut efek bayi ASI terlihat saat anak duduk di sekolah dasar. Anak yang waktu bayi mendapat ASI eksklusif, lebih pintar membaca, menulis dan matematika di usia 5, 7, 11 dan 14 tahun.

Salah satu peneliti, Maria Iacovou menjelaskan, asam lemak rantai panjang (long-chain fatty acids) yang terkandung di dalam ASI membuat otak bayi berkembang. Tak hanya itu, menyusui juga membuat ikatan antara ibu dan anak lebih kuat.

Bukan hanya untuk bayi, menyusui juga berguna bagi para ibu. Dengan menyusui, ibu bisa lebih terlindungi dari ancaman kanker ovarian dan payudara. Mengapa? Karena dengan menyusui memiliki efek pada keseimbangan hormon wanita.

Selain efek kesehatan, menyusui membantu ibu menurunkan berat badan usai melahirkan. Saat menyusui, 500 kalori terbakar setiap harinya. Bagaimana, semakin yakin dengan manfaat ASI?

Renang Bikin Si Kecil lebih Berkembang

Isi akhir pekan Anda dengan mengajak si kecil berenang. Selain menyenangkan, berenang ternyata bisa membuat si kecil lebih pintar.

Sebuah penelitian dari Queensland, Australia mengungkap bahwa berenang tidak hanya mempengaruhi kondisi fisik si kecil. Mereka mengatakan bahwa berenang juga bisa meningkatkan kinerja otak anak dan membuatnya lebih pintar.

Riset yang dilakukan oleh Griffith University melibatkan lebih dari 10.000 anak yang berusia rata-rata 5 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah berenang memberikan kontribusi pada perkembangan fisik, sosial, kognitif pada si kecil.

Seperti dilansir Times of India, penelitian ini telah dilakukan selama 2 tahun untuk memastikan perkembangan anak selama mereka belajar berenang. Professor Robyn Jorgensen mengatakan, hasil penelitian menemukan bahwa anak-anak yang berusia sama dan bisa berenang jauh lebih percaya diri, dibanding dengan teman-temannya yang berusia sama namun tidak bisa berenang.

"Data awal dari studi ini cukup positif. Anak-anak yang bergabung dalam sekolah renang terlihat tumbuh lebih baik di kehidupan mereka, lebih pintar, pandai bersosialisasi dan juga fisik yang baik," ungkap Jorgensen.

Keunggulan ASI dibandingkan Susu Formula


Saat ini masih sedikit bayi yang bisa mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan. Beberapa bayi justru diberikan susu formula yang terbuat dari susu sapi. Padahal ada banyak kandungan ASI yang tidak ada di susu formula.

Hal pertama yang seorang ibu perlu ketahui adalah kandungan dari susu manusia dan susu sapi itu berbeda. Pada susu sapi kadar proteinnya lebih tinggi yaitu 3,4 persen, sedangkan susu manusia hanya 0,9 persen. Kadar laktosa di dalam susu manusia lebih besar yaitu 7 persen sedangkan di dalam susu sapi sebesar 4,8 persen.

"Karena itu ASI untuk otak dan susu formula untuk otot," ujar dr IGAN Pratiwi selaku Ketua Satgas ASI IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) dalam acara seminar tentang Peningkatan Pemberian ASI Eksklusif Bagi Bayi dalam Mendukung MDGs di Hotel Manhattan, Jakarta, 

Dokter yang akrab disapa Tiwi ini menuturkan laktosa sangat penting dalam proses pembentukan myelin otak. Myelin ini berfungsi untuk mengantarkan rangsangan yang diterima oleh bayi. Saat menyusu rangsangan yang diterima oleh si kecil seperti mencium bau ibunya serta mendengar dan merasakan napas sang ibu.

Sedangkan pada susu sapi kandungan yang paling tingginya adalah protein yang berfungsi membantu pembentukan otot karena sapi memang membutuhkan otot yang kuat seperti untuk bergerak atau membajak sawah.

dr Tiwi menuturkan laktosa yang tinggi pada bayi yang baru lahir kadang bisa menyebabkan diare. Tapi kondisi ini merupakan suatu hal yang normal atau fisiologis sehingga ibu tidak perlu menghentikan pemberian ASI.

"Jika diare disebabkan oleh fisiologis, maka berat badannya tidak akan turun. Jadi selama berat badannya tidak berkurang, ibu tidak perlu menghentikan pemberian ASI dan normalnya bayi bisa buang air besar sebanyak 10-15 kali sehari," ungkapnya seperti dilansir detikHealth.

Selain itu AA dan DHA yang terkandung di dalam ASI juga dilengkapi dengan enzim lipase sehingga bisa dicerna oleh tubuh bayi. Sedangkan pada susu formula memang ada AA dan DHA tapi tidak ada enzimnya. Hal ini karena enzim lipase baru dibentuk saat bayi berusia 6-9 bulan.

Manfaat lain dari ASI yang tidak didapatkan dari susu formula adalah kandungan kolostrum yang keluar di awal-awal bayi menyusu. Kolostrum yang keluar saat bayi menyusu mengandung 1-3 juta leukosit (sel darah putih) dalam 1 ml ASI.

"Jadi kalau ada yang bening-bening sedikit yang keluar dari payudara jangan diremehkan, karena itu mengandung leukosit yang bisa bermanfaat membunuh bakteri di dalam tubuh bayi," ujar dokter ini

Ia juga mengatakan keberhasilan ibu menyusui untuk terus memberikan ASI pada bayinya sangat ditentukan oleh dukungan dari suami, keluarga, petugas kesehatan, masyarakat serta lingkungan kerjanya.

"Menyusui merupakan suatu proses keseimbangan yang melibatkan tiga orang yaitu ibu, bayi dan ayahnya. Karena itu peran ayah sangat berarti dalam hal keberhasilan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan atau sampai 2 tahun," ujar dr Utami Roesli SpA, MBA, IBCLC.

Karena itu dr Utami menuturkan bahwa seorang ayah juga punya power (kekuatan) untuk menyehatkan anaknya dan berperan dalam proses menyusui (breastfeeding father)

Malu karena Si kecil masih Ngompol...?

anak Anda masih mengompol? Jika iya, apakah Anda malu untuk berbagi cerita soal hal itu kepada orang lain? Menurut survei, 4 dari 10 orangtua mengaku malu dan tidak mau berbagi kisah tersebut pada saudara atau orangtua lainnya.

Survei itu dilakukan oleh produk popok celana DryNites dan diikuti oleh 1.513 ibu. Dari survei itu terungkap, ada 75 persen responden yang setuju bahwa mengompol adalah hal yang memalukan, berbeda seperti asma atau eksim yang dianggap biasa.

Sebanyak 4 dari 10 responden yang anaknya mengompol, mengaku tidak akan mendiskusikan situasi mereka dengan orang tua. Para ibu itu takut dinilai sebagai orang tua yang buruk karena anak mereka masih mengompol.

Jenni Trent-Hughes, seorang konselor keluarga sekaligus ibu yang berhasil mengatasi ketakutan tersebut menanggapi survei tersebut. "Menarik sekali melihat para ibu yang berkomunikasi melalui segala macam jejaring sosial seperti, Twitter, Facebook dan blog, tetapi tidak dapat membicarakan hal yang menurut mereka memalukan, yaitu anak yang masih mengompol. Padahal mereka bisa saja berbagi pengalaman dan membantu satu sama lain," ujar Jenni. Ia sendiri pun mengaku malu untuk bercerita pada ibu lainnya saat anaknya masih mengompol.

Dilansir Female First, banyak orang tua yang memilih diam karena takut anak mereka akan diejek atau diolok-olok jika kebiasaan mengompol itu diungkapkan. Aimie Turner, seorang ibu berusia 36 tahun dari St Albans, Inggris pernah mengalami hal tersebut dengan kedua anaknya yang berumur 7 dan 9 tahun.

Aimie mengatakan, ia sebenarnya tidak masalah membicarakan kebiasaan mengompol kedua anaknya itu pada orang lain. Namun ia tidak melakukannya karena takut anaknya akan malu dan mungkin diejek temannya.

“Mengompol tidak dianggap sebagai bagian dari pertumbuhan anak, tapi justru sesuatu hal yang memalukan. Saya tidak yakin orang tua sadar betapa banyak keluarga lainnya yang mengalami hal yang sama dengan mereka. Ketakutan tersebut telah menjadi siklus negatif pada orang tua, sehingga menimbulkan sedikit dukungan atau pengertian pada keluarga, terutama anak-anak, " tambah Aime.

Kembali pada survei DryNites, 66 persen responden percaya, idealnya seorang anak berhenti mengompol pada usia 4 tahun. Namun ternyata kenyataan tidak sama dengan harapan.

Seorang ahli dari DryNites, Penny Dobson, menjelaskan bahwa 1 dari 5 anak berusia 4,5 tahun masih mengompol pada malam hari dan beberapa anak masih mengompol sampai usia 15 tahun atau bahkan lebih. Tapi normalnya anak akan berhenti mengompol saat usia mereka 7 atau 8 tahun.

Dari survei itu juga terungkap, hampir setengah dari responden percaya bahwa sesuatu yang mengkhawatirkan atau mengganggu anak mereka dapat mengakibatkan si kecil mengompol. Selain itu Penny juga mengatakan, faktor lain yang dapat menyebabkan mengompol adalah keturunan dan mungkin kurangnya produksi hormon vasopresin, hormon yang membantu ginjal beristirahat di malam hari.

Jika masalah anak mengompol ini sudah sangat mengganggu, para orangtua disarankan tidak perlu takut atau malu mencari bantuan. "Semoga penelitian ini menyadarkan para ibu bahwa keluarga mereka bukanlah satu-satunya keluarga yang sedang terkena masalah ini. Penelitian ini menyadarkan kita akan kesempatan untuk mendapat bantuan dan dukungan dari saling berbagi pengalaman, hilangkan rasa malu terhadap anak-anak kita yang mengompol demi pertumbuhan anak kita juga," Jenni menyimpulkan.

Anak 4 tahun sudah bisa berbohong...?


Pastinya tiap orang tua berharap anaknya tidak memiliki kebiasaan berbohong. Namun tahukah Anda bahwa anak sudah bisa berbohong sejak usia empat tahun?

Seperti dikutip Times of India, dalam bukunya yang berjudul 'Born Liars', Ian Leslie menulis bahwa anak mulai berbohong antara usia dua dan empat tahun. Mereka biasanya berbohong untuk menghindari hukuman atas kesalahannya.

Dr. Victoria Talwar, asisten profesor psikologi anak di McGill University, Montreal, melakukan percobaan yang bernama 'Game Mengintip'. Permainan ini bertujuan untuk melihat perbedaan usia saat anak berbohong.

Pertama-tama anak dipertemukan dengan peneliti dan diajak bermain. Setelah terjalin hubungan yang baik, anak diberi permainan menebak. Mereka diminta menghadap tembok dan menebak sejumlah bunyi.

Peneliti membawa sejumlah mainan dan anak diminta untuk menebak suara-suara dari mainan tersebut (apakah suara mobil polisi atau bayi menangis). Peneliti sengaja membuat bingung anak dengan suara tersebut, seperti membuat suara kucing dan suara musik bersamaan.

Saat anak bingung, peneliti membuat alasan untuk meninggalkan ruangan dan memperingatkan anak untuk tidak mengintip. Anak-anak akan berbalik beberapa detik setelah peneliti keluar. Kemudian peneliti kembali dan meminta jawaban anak.

Ketika anak memberikan jawaban, peneliti bertanya apakah ia mengintip atau tidak. Hasilnya sangat mengejutkan, anak berusia tiga tahun mengaku mengintip sedangkan kebanyakan anak berumur empat tahun memilih untuk berbohong. Saat anak berusia enam tahun, terdapat 95 persen dari mereka akan menceritakan kebohongan ini.

Hentikanlah kebiasaan anak berbohong agar tidak berlanjut sampai dewasa. "Delapan tahun adalah usia yang tepat untuk meminta anak berhenti berbohong,” jelas profesor Kang Lee dari University of Toronto dan direktur Institut Studi Anak.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Anda sebagai orang tua juga tidak dianjurkan untuk berbohong.

13% Orangtua habis sekitar 650ribu untuk ulang tahun anak


Membuat pesta ulang tahun untuk si kecil memang sangat menyenangkan. Kue-kue dan atraksi badut tidak pernah absen dari kemeriahan pesta. Teman-teman anak tentu saja tidak ketinggalan memeriahkan pesta.

Pesta ulang tahun merupakan salah satu topik yang ramai dibicarakan orangtua di beberapa forum online. Disimpulkan oleh situs Mum’s Net, orangtua ingin anak mereka memiliki pesta yang sama meriahnya seperti teman-teman mereka.

Dikutip dari The Telegraph, ada lebih dari 500 orangtua yang memiliki anak di bawah usia 18 tahun mengikuti survei tentang biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat pesta ulang tahun si kecil. Survei diadakan oleh lembaga amal yang didirikan JK Rowling, Lumos.

Dari survei itu terungkap, 40% orangtua merasa terpaksa mengadakan pesta ulang tahun mewah untuk anak mereka. 4 dari 10 orangtua di Inggris mengaku menghabiskan Rp 1,3-6 juta untuk pesta ulang tahun anak. Dalam setahun, hanya 13% orang tua menghabiskan sekitar Rp 650 ribu untuk pesta ulang tahun anak mereka.

Biaya jutaan rupiah itu dialokasikan untuk menghadirkan badut penghibur yang harga sewanya bisa mencapai satu juta per jamnya. Orangtua juga harus memesan tempat khusus untuk pesta tersebut. Kalau di Indonesia, pilihannya mulai dari hotel hingga restoran cepat saji.

Bahkan kini cukup banyak orangtua yang menyewa event organizer untuk mengurus pesta ulang tahun anak. Salah satu event organizer yang terkenal di Inggris adalah Party Pieces. Event Organizer yang didirikan oleh Carole dan Michael Middleton, orang tua dari Duchess of Cambridge itu, mengenakan biaya sebesar £86 atau sekitar satu juta untuk 16 tamu undangan.

Sekarang ini juga kita bisa melihat banyak anak selebriti yang merayakan ulang tahunnya dengan sangat meriah. Contohnya, Suri Cruise, putri dari aktor Tom Cruise dan Katie Holmes. Pasangan selebriti itu dilaporkan merayakan pesta ulang tahun ke-2 Suri dengan biaya $100,000 atau sekitar Rp 900 juta.

Georgette Mulheir, chief executive Lumos, mengatakan "Orangtua di Inggris berada di bawah tekanan yang terus meningkat untuk menghabiskan lebih banyak uang untuk pesta ulang tahun anak-anak mereka."

Kondisi ini menurut Mulheir sangat memprihatinkan. Apalagi Lumos saat ini sedang mengadakan kampanye Light a Birthday Candle. Kampanye itu dibuat untuk menggalang kesadaran kalau saat ini ada ribuan anak yang tidak bisa atau tidak mampu merayakan ulang tahun mereka. Bahkan ada cukup banyak anak yang tak tahu kapan mereka lahir.

1 dari 4 anak lebih Suka Main Game daripada dengan Keluarga


Anak Anda sering menghabiskan waktu dengan bermain Nintendo Wii atau X-Box? Hati-hati, jangan sampai perhatian anak pada orangtuanya teralihkan karena anak terlalu asyik dengan gagdet-nya.

Menurut survei terbaru yang diadakan oleh perusahaan energi npower, 34% orangtua mengaku mereka harus bersaing dengan segala jenis games consoles dan situs jejaring sosial demi mendapatkan perhatian anak mereka. Survei tersebut diikuti oleh 1.000 orangtua dan 1.000 anak di Inggris.

Npower mengadakan survei ini sebagai bagian dari cara mereka mendukung kampanye 'No Power Hour' di Inggris. Kampanye tersebut mendorong setiap keluarga untuk menghemat energi dengan cara lebih banyak menghabiskan waktu di area terbuka, bukan di dalam rumah.

Dari survei itu terungkap juga, 46% orangtua yang menjadi responden merasa komunikasi mereka dengan anak dipengaruhi oleh tekhnologi. Gara-gara tekhnologi dan gadget, para orangtua merasa mereka sulit mendapat perhatian dari anak.

Seperti dikutip dari Orange, 28% orangtua merasa prihatin karena sekarang ini mereka tidak lagi banyak terlibat dalam kehidupan anak. Mereka menyalahkan gadget yang dianggap telah membuat anak memiliki dunianya sendiri.

Masih menurut survei npower, 51% anak diketahui menghabiskan waktu lebih dari lima jam sehari menatap layar baik komputer, televisi ataupun handphone. Ada 27% anak yang lebih memilih berkomunikasi secara digital ketimbang bertemu muka. Lebih memprihatinkannya, 1 dari 4 anak lebih suka bermain X-Box daripada menghabiskan waktu bersama keluarga.

Menyikapi hasil penelitian tersebut, Psikolog Dr Linda Papadopoulos menyarankan setiap keluarga seharusnya lebih banyak melakukan aktivitas yang mengharuskan saling bertemu muka. Aktivitas tersebut misalnya makan malam bersama.

"Cukup satu jam sehari berinteraksi sebagai sebuah keluarga bisa meningkatkan kepercayaan diri dan menambah kemampuan berkomunikasi secara verbal," ujar Linda.

Ayo Ajak Si Kecil Main di Luar

Seberapa sering Anda main bersama anak di luar rumah? Menurut sebuah survei di Inggris, 8% orangtua, sekarang ini merasa malu bermain bersama si kecil di area terbuka.

Survei tersebut digelar oleh Savlon dan kelompok kampanye Play England. Dari penelitian itu terungkap 72% orangtua sebenarnya ingin anak-anak mereka bermain di luar rumah. Namun hanya 40% anak saja yang mau menukar waktu mereka menonton televisi atau di depan komputer dengan main di area terbuka.

Tak hanya itu, 42% anak berusia 6-15 tahun di Inggris, sekarang ini juga mengaku tidak pernah membuat rantai dari bunga dan 1/4 dari responden anak mengaku tidak pernah bermain dengan berguling-guling di rumput. 1/3 anak juga tidak tahu bagaimana caranya bermain hopstcotch atau jingkat.

Berbanding terbalik dengan keinginan orangtua yang sebenarnya mau anak-anak main di luar rumah, sebenarnya karena mereka juga anak jadi jarang berada di area terbuka. Orangtua lah yang membatasi anak bermain di luar rumah karena mereka over protektif dan malas untuk bergabung.

Satu dari tujuh orangtua mengaku mereka merasa tidak fit untuk bermain bersama anak di luar ruma. Sementara 8% orangtua mengaku mereka terlalu malu.

"Bermain di luar rumah, main lumpur, memanjat pohon dan membuat rantai bunga, sebenarnya adalah hal-hal menyenangkan yang kini tidak lagi dilakukan anak-anak," ujar Direktur Play England Catherine Prisk, seperti dikutip Telegraph.

"Anak-anak bisanya akan lebih aktif secara fisik saat berada di luar rumah dan lebih senang bermain dengan anak-anak lain," tambah mantan guru itu.

Menurut Prisk, bermain di luar rumah sangat penting untuk kesehatan fisik dan emosional anak. Tak hanya itu bermain di area terbuka juga penting untuk perkembangan diri anak untuk membangun bakat kemampuan sosialnya.

"Dari penelitian ini terungkap 1/3 anak mengaku tidak pernah membuat lubang. Hal ini sangat menyedihkan karena aktivitas ini sebenarnya bisa mengajarkan mereka bagaimana menghadapi masalah yang sebenarnya di dunia nyata," tuturnya.

"Saat anak belajar memanjat pohon, mereka belajar bagaimana menghadapi dan mengatasi tantangan fisik dan ini bisa membantu mereka mengatasi tantangan lainnya dalam kehidupan seperti belajar membaca," urai Prisk lagi.

Mantan atlet rugby Inggris yang kini sudah menjadi ayah empat putri, Austin Healy, sangat mendukung kampanye bermain di luar rumah ini. Menurutnya para orangtua harus mengajak anaknya mengurangi bermain game consoloes dan internet dan lebih banyak main di luar rumah.

Ternyata 27% ibu masih merasa Susu Formula sebaik ASI

Sudah banyak penelitian yang membuktikan kalau anak ASI lebih sehat. Salah satu penelitian di Amerika Serikat misalnya menunjukkan 400 bayi meninggal/tahun akibat muntah dan mencret. 300 di antara 400 bayi tersebut tidak disusui. Menurut penelitian tersebut, bayi yang diberi susu formula juga bisa enam kali lebih berisiko mengalami penyakit saluran pernapasan.

Kehebatan ASI tersebut diakui oleh para ibu di berbagai belahan dunia. Dalam survei yang dibuat oleh situs The Bump pun terungkap kalau para ibu kini mempercayai khasiat ASI tersebut.

Survei yang dibuat dalam rangka Pekan ASI Sedunia itu menunjukkan 88% wanita percaya menyusui bisa membuat bayi lebih sehat. Survei itu diikuti oleh 1.600 wanita, baik itu ibu, belum menjadi ibu, dan wanita yang akan menjadi ibu.

Namun dari survei itu diketahui juga, ternyata ada ibu yang percaya kalau susu formula sama baiknya dengan ASI. Setidaknya 27% responden percaya hal tersebut. Padahal, ada banyak kandungan ASI yang tidak ada di susu formula.

Masih menurut survei tersebut, 83% wanita percaya kalau menyusui adalah hal terbaik yang dilakukan ibu untuk dirinya dan bayi. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun lalu yang hanya 73%.

Ribuan wanita yang menjadi responden itu juga ditanya pendapat mereka tentang menyusui di tempat umum. Sebagian besar wanita yang belum punya anak atau tanpa anak, merasa tidak masalah melihat ibu menyusui di tempat umum.

Mengejutkannya, rata-rata wanita hamil yang disurvei ternyata merasa tidak nyaman saat melihat seorang ibu menyusui di tempat umum. Namun rata-rata wanita yang disurvei percaya kalau menyusui di tempat umum dilakukan saat perlu saja.

Hal yang juga ditanyakan dalam survei tersebut adalah soal kapan waktu yang tepat untuk menyapih si kecil. Sebagian besar wanita yang disurvei mengatakan anak seharusnya mulai disapih saat berusia 7 bulan sampai 1 tahun. Padahal menurut Asosiasi Dokter Anak Amerika, ibu sebaiknya menyusui bayi setidaknya sampai berusia satu tahun dan tetap dilanjutkan jika memang bayi mau. Sementara di Indonesia, rata-rata ibu menyapih anaknya setelah berusia dua tahun.

25% anak usia 2 tahun mulai mainan HP

Telepon selular atau handphone kini bukan lagi milik orang dewasa. Menurut survei terbaru, anak-anak pun sudah mulai bermain-main dengan handphone sejak usia dua tahun.

Survei tersebut dibuat oleh BlogHer dan diikuti oleh 1.000 wanita. Dari ribuan responden itu terungkap, 1 dari 4 ibu mengaku anak-anak mereka mulai bermain-main dengan handphone di usia dua tahun.

Seperti dikutip dari NY Daily News, begitu menginjak empat tahun, 32% anak sudah mengenal dan memakai smartphone. 25% anak usia empat tahun dan lebih muda juga sudah memakai iPod. 

Masih menurut survei tersebut, 60% anak saat berusia empat tahun sudah tahu bagaimana memakai komputer. Sementara 14% anak berusia empat tahun suka menghabiskan waktunya bermain-main dengan tablet (iPad dan sejenisnya).

Ketertarikan anak pada handphpne itu sepertinya dipengaruhi oleh orangtua mereka. Dari survei itu terungkap, 71% ibu tidak bisa menghabiskan hari mereka tanpa menggunakan internet. Sementara 40% ibu mengaku hanya bisa bertahan beberapa jam tanpa melihat handphone mereka.

Malah 23% ibu yang disurvei mengaku mereka menggunakan handphone sebagai mainan untuk mengalihkan perhatian anak-anak mereka. Meski begitu, sikap para ibu tersebut tetap tidak mengubah pendirian mereka soal kapan waktu yang tepat membelikan anak handphone. Dari polling itu diketahui, ibu-ibu akan mengizinkan anak mereka memiliki handphone di usia 13 tahun.

Waspada depresi saat mencoba jadi ibu ideal

Ketika menjadi seorang ibu bekerja, Anda akan berusaha sekuat tenaga untuk melakukan segalanya dengan baik. Namun menurut penelitian terbaru, wanita yang mencoba jadi ibu sempurna ini berisiko depresi.

Penelitian tersebut dipresentasikan di meeting rutin American Sociological Association di Las Vegas. Dalam penelitian itu ditemukan, bekerja ternyata memiliki manfaat baik untuk kesehatan mental ibu.

Di antara para ibu yang bekerja itu, mereka yang risiko depresinya kecil adalah yang tidak mencoba jadi supermom. Ibu yang tidak terlalu depresi ini tak terlalu berusaha keras menyeimbangkan kehidupan kerjanya dengan keluarga.

"Wanita yang berusaha menjadi ideal justru meningkatkan gejala depresi dibandingkan wanita yang lebih skeptis soal menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga," jelas salah satu peneliti Katrina Leupp, lulusan dari Universitas Washington, seperti dikutip dari LiveScience.

Penelitian yang dilakukan Leupp dan teman-temannya melibatkan 1.600 wanita menikah. Penelitian tersebut dinamakan 'National Longitudinal Survey of Youth' dan dimulai sejak 1987.

Dalam penelitian tersebut, para wanita diminta menjawab pertanyaan untuk mengukur dukungan mereka pada wanita bekerja. Mereka juga ditanya apakah setuju atau tidak dengan pernyataan: "Wanita lebih bahagia jika jadi ibu rumah tangga dan mengurus anak".

Pada 1992 dan 1994, para responden yang saat itu sudah berusia 40 tahun menjawab pertanyaan tentang gejala depresi yang mereka alami. Sama seperti penelitian sebelumnya, survei itu menunjukkan, ibu bekerja, memiliki gejala depresi lebih sedikit ketimbang ibu rumah tangga. Hal itu mungkin karena ibu bekerja lebih punya kesempatan untuk berinteraksi, aktivitasnya lebih beragam dan punya pendapatan.

"Ironis memang, wanita yang tidak terlalu berusaha menyeimbangkan pekerjaan dan keluarganya memiliki kesehatan mental yang lebih baik ketimbang yang berusaha menjadi sempurna," jelas Leupp.

Leupp berpendapat wanita bekerja yang berusaha menjadi sempurna ini sepertinya jadi merasa bertentangan dengan lingkungan kerjanya. Lingkungan kerja memang tidak mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga.

"Saat mereka tidak bisa menyeimbangkan semuanya dengan sempurna, supermom jadi lebih frutasi dan merasa bersalah," ujar Leupp.

Dari penelitian ini, Leupp berharap para ibu bekerja bisa merasa lebih optimis dalam menjalani hari-harinya antara menjadi orangtua dan pekerja. Ibu bekerja diharapkan tidak menyalahkan diri mereka sendiri jika ada sesuatu yang salah dalam menjalani hari-harinya.

"Sadarilah kalau mereka kesulitan, hal itu karena memang sulit," pungkasnya

Susahnya jadi wanita Karir sekaligus Ibu

Wanita bekerja yang sudah memiliki anak kerap dihadapkan pada pilihan menjadi ibu sempurna, bisa menyeimbangkan karir dan keluarga. Menurut riset, 1/3 wanita bekerja pun mengaku kesulitan memenuhi tuntutan itu.

Seperti dikutip dari Daily Mail, riset tersebut dibuat oleh Tesco Baby dan melibatkan 2.000 ibu. Dari survei itu diketahui 1/3 wanita mengatakan hal terberat dari menjadi orangtua adalah menjadi ibu yang baik sekaligus bisa berdedikasi pada pekerjaan.

1/3 dari para ibu itu mengatakan tugas mereka akan menjadi lebih mudah seandainya saja mereka adalah ibu yang tinggal di rumah. 27% ibu mengaku sangat tidak mungkin melakukan segala sesuatunya sendiri kecuali mereka adalah orang yang sangat teratur dan terencana.

Sementara 1/3 wanita lainnya mengatakan hal terberat menjadi orangtua adalah menjaga rumah tetap bersih. Hampir 3/4 ibu yang disurvei mengungkapkan tugas mereka bisa menjadi lebih ringan seandainya saja mereka punya keluarga dan teman dekat yang mau membantu.

Bantuan dari para orang terdekat itu rupanya memang sangat membantu ibu bekerja. Hal itu terbukti dari riset yang dilakukan Tesco Baby tersebut. 67% responden penelitian mengaku mereka tidak akan sangup terus bekerja seandainya saja tak mendapatkan bantuan dari Team Mum. Team Mum adalah sebutan untuk orang-orang yang membantu mengurus anak dan rumah selama ibu bekerja.

Setidaknya ibu mendapatkan bantuan dari Team Mum itu selama 10 jam sehari. Sedangkan 1 dari 20 ibu yang disurvei mengaku hanya bisa mendapatkan dukungan dari Team Mum itu selama 31 jam setiap minggunya. Dengan bantuan dari Team Mum ini, para ibu pun dapat menghemat setidaknya £140 sebulan.

Siapa saja orang-orang yang menjadi bagian dari Team Mum ini? 2/3 ibu yang disurvei mengatakan ibu merekalah orang tersebut. 1 dari 3 wanita mengaku ibu mereka yang mengasuh anak selama mereka bekerja.

Survei Tesco itu juga mengungkapkan 1 dari 10 ibu bergantung pada ibu mertua mereka untuk membantu mengasuh anak selama mereka bekerja. Sementara ada 5% ibu yang dibantu oleh ayah mereka dalam mengurus anak

Lebih Sayang ke salah satu anak...?


Apakah Anda punya anak yang lebih disayang dari anak lainnya? Sebuah buku baru karya jurnalis Time Jeffrey Kluger mengklaim 95% orangtua pasti punya anak yang difavoritkan.

Hal tersebut diungkapkan Jeffrey dalam bukunya 'The Sibling Effect: What the Bonds Among Brothers and Sisters Reveal About Us'. Pria yang memulai karirnya sebagai jurnalis di New York itu mengatakan, orangtua yang tidak mengakui kalau mereka lebih sayang pada salah satu anak, pasti berbohong.

"Aku percaya 95% orangtua di dunia ini punya anak yang difavoritkan dan 5% sisanya berbohong," tulisnya.

Kepada Today.com, Jeffrey menuturkan sekarang ini sudah cukup banyak orangtua yang menyadari soal kefavoritan mereka pada salah satu anak. Beberapa ibu dan ayah, bermimpi mengungkapkan soal hal itu.

"Tapi ada semacam nilai yang dipercayai orangtua, kode untuk tidak membicarakan hal itu," tutur Jeffrey.

Ayah dua putri itu mengisahkan di keluarganya, dirinya punya empat saudara kandung. Dia sendiri adalah anak kedua. Jeffrey dan kakak tertuanya menjadi favorit ayahnya. Sementara adiknya, anak ketiga dan si bungsu, favorit ibunya.

Menurut Jeffrey, dari penelitian yang ada menunjukkan seorang ayah lebih mungkin memfavoritkan putri bungsunya. Sementara ibu lebih memilih memfavoritkan putra tertuanya.

Sedangkan anak tengah, jarang yang menjadi favorit orangtua. Hal itu tidak berlaku kalau memang si anak tengah, satu-satunya anak laki-laki atau perempuan.

Jeffrey menambahkan, jenis kelamin dan urutan kelahiran sebenarnya juga tidak terlalu menentukan siapa yang difavoritkan orangtua. Orangtua memfavoritkan salah satu anaknya lebih karena mereka melihat kemiripan si anak dengan diri mereka.

"Memiliki anak adalah sebuah tindakan narsis yang genetis. Kita seperti terhubung untuk melakukan itu," ujarnya.

"Apa yang kita lihat pada anak adalah ciri atau sifat yang mengingatkan kita pada diri sendiri. Anda memang mencintai suami, tapi gen lah yang berperan penting," urainya lagi.

Opini Jeffrey di atas ternyata tidak sejalan dengan hasil survei yang dipublikasikan oleh situs Parenting. Dalam surveinya situs tersebut menemukan hanya 19% ibu yang mengaku lebih sayang pada salah satu anak.

Sementara sebuah penelitian di Inggris pernah menunjukkan 88% ibu mengakui mereka memang memperlakukan anak perempuan dan laki-laki secara berbeda. 55% dari ibu tersebut mengaku mereka lebih mudah merasa dekat dengan anak laki-lakinya.

Si Kecil juga perlu Sahabat..

Anak-anak juga bisa mengalami stres dan melampiaskannya pada perilaku yang tidak menyenangkan. Menurut penelitian, hal itu bisa diatasi dengan membiarkan si kecil bermain dengan sahabatnya.

Seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, ada banyak hal yang bisa menyebabkan anak stres. Misalnya karena sikap orang tua, trauma hingga masalah dengan teman. Baca berita selengkapnya di sini.

Namun Anda tak perlu lagi khawatir, menurut sebuah penelitian terbaru, sahabat si kecil bisa memberikan pengaruh yang menenangkan pada hormon stres ketika dirinya merasa tegang. Selain menenangkan, seorang sahabat juga bisa membuat kepala mereka dingin dan mengambil keputusan tanpa memihak.

"Satu hal yang menarik mengenai penemuan ini adalah sahabat sebagai penenang, bukan hanya teman biasa," ujar Ryan Adams, asisten profesor pediatri dari Cincinnati Children’s Hospital Medical Center, seperti dikutip dari MSN.

Untuk melihat dampak persahabatan ini, Adams dan rekannya mengumpulkan 103 murid dari kelas lima dan kelas enam yang memiliki teman baik. Dalam penelitian itu, setiap hari anak-anak diwajibkan untuk menulis buku harian sebanyak lima kali.

Mereka juga diminta mengisi kuesioner yang dirancang untuk menunjukkan seberapa baik perasaan mereka terhadap diri sendiri, orangtua, saudara kandung, sahabat, teman, guru dan orang lain. Saat mengisi diari tersebut, anak-anak juga diminta untuk meludah ke dalam botol. Gunanya untuk menganalisa tingkat kortisol --hormon stres-- dalam tubuhnya.

Hasil yang ditemukan tentu tak mengejutkan bahwa anak-anak lebih bahagia ketika sang sahabat berada di dekatnya. Yang cukup mengejutkan adalah, kehadiran sahabat bisa bantu menghindari anak dari dampak fisik pengalaman negatif. Anak-anak tidak memproduksi kortisol sebanyak ketika mereka tidak ditemani oleh sahabatnya.

"Ini menunjukkan kepada kita bahwa sahabat bisa memberikan pengaruh positif. Kehadiran seorang sahabat bisa membantu anak-anak bernegosiasi dengan situasi stres," jelas Patrick Tolan, direktur Youth-Nex dari University of Virginia Cente

2/3 ibu Ternyata tidak suka sebutan "ibu rumah tangga"

Apalah artinya sebuah nama, rupanya bagi beberapa ibu nama sangat berarti. Menurut riset terbaru, 2/3 wanita yang tidak bekerja di kantor merasa terhina apabila mereka disebut ibu rumah tangga.

Survei tersebut dibuat oleh Mothercare dan diikuti oleh 2.000 ibu. Dalam survei itu terungkap 2/3 ibu memprotes sebutan 'housewife' (ibu rumah tangga) untuk ibu yang tidak bekerja di kantor. Para ibu tersebut lebih suka disebut sebagai 'stay-at-home mum'.

Para ibu yang merasa terhina dengan sebutan 'ibu rumah tangga' itu merasa nama tersebut mengandung konotasi negatif. Sebutan itu juga terkesan meremehkan peran mereka di rumah.

Sedangkan nama 'stay-at-home mum' lebih mengesankan positif karena merefleksikan tugas sebenarnya dari seorang ibu yaitu mengutamakan pengasuhan anak. Para ibu tersebut juga merasa pekerjaan rumah seharusnya menjadi tanggungjawab bersama suami dan istri.

"Zaman sudah berubah dan jelas para ibu ini merasa mereka kini lebih modern dan mungkin ingin nama yang lebih menggambarkan peran mereka," ujar konsultan keluarga dari Mothercare Liz Day.

Keinginan para ibu itu rupanya tidak sesuai dengan kenyataan yang mereka rasakan. Sebagian besar ibu yang menjadi responden mengaku mereka lah yang mengerjakan sebagian besar pekerjaan rumah seperti membersihkan, mencuci, memasak dan berbelanja.

Hampir 50% ibu yang disurvei merasa pasangan mereka berharapa merekalah yang memang mengerjakan tugas domestik lebih banyak. Para pria berpikir demikian karena mereka beranggapan istri tidak bekerja seharian di luar rumah.

Survei tersebut juga mencari tahu bagaimana perasaan para ibu soal penerimaan masyarakat terhadap mereka. Hampir 50% ibu beranggapan rata-rata orang berpikir mereka membosankan karena tidak ada hal menarik yang bisa dibicarakan. Cukup banyak juga responden yang merasa dianggap tidak terlalu istimewa dibanding ibu bekerja.

Melihat dari survei tersebut, Liz Day mengatakan, apapun posisi Anda sekarang, ibu bekerja atau stay-at-home mum, hal yang harus diutamakan adalah kebahagiaan anak. "Memasak makanan seimbang dan memastikan mereka bisa mencapai tahap perkembangan sesuai umurnya," tambah Day.

1 dari 5 Ibu tertekan jadi Orangtua

Siapa bilang menjadi orangtua itu mudah? Buktinya menurut hasil riset terbaru, satu dari lima ibu mengaku sangat lelah dengan tekanan hidup sebagai orangtua. Para ibu tersebut juga merasa mereka hanya bisa menghabiskan setengah waktu luangnya untuk bermain dengan balita mereka.

Survei di atas dibuat oleh stasiun televisi Cartoonito saat meluncurkan akun Facebook komunitas untuk orangtua. Dalam survei itu 2.200 ibu yang memiliki anak usia pra sekolah menjadi responden.

Dalam survei itu ditemukan, 2/3 ibu rumah tangga mengaku menyuruh anak mereka untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah yang mudah. 1 dari 10 ibu tersebut juga menyisihkan setidaknya 20% dari pendapatan keluarga untuk membayar orang lain yang membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Berbagai cara tersebut dilakukan agar mereka bisa istirahat sejenak dan menghabiskan waktu yang lebih berkualitas bersama anak-anak.

Penelitian Cartoonito itu juga mengungkapkan, para ibu yang tidak bekerja di luar rumah ini, sangat sulit menemukan waktu untuk memanjakan diri sendiri. 70% ibu yang menjadi responden mengaku menggunakan waktu ketika bisa bebas dari anak-anak untuk mengerjakan pekerjaan rumah atau berbelanja kebutuhan keluarga. Hanya 1/3 ibu yang bisa menghabiskan waktunya dengan tidur.

Berdasarkan survei tersebut, psikolog keluarga Dr Pat Spungin menyarankan pada para ibu untuk meminta bantuan orang lain jika mereka memang sudah sangat kelelahan. "Ibu seharusnya tidak merasa bersalah untuk minta bantuan orang lain sehingga mereka bisa punya waktu untuk diri sendiri," ujar Spungin seperti dikutip dari Female First.

"Untuk para ibu dengan anak di usia pra sekolah, masa-masa itu bisa sangat membuat stres. Terutama jika Anda adalah ibu rumah tangga tanpa ada saudara yang bisa dimintai bantuan. Anak-anak balita itu punya energi yang tidak terbatas dan banyak pertanyaan saat mereka senang dan bisa jadi tantrum saat mereka kesal," tuturnya lagi.

Menurut Spungin, menjadi seorang ibu adalah sebuah pekerjaan yang tidak mengenal waktu. Sehingga sangat wajar jika ibu merasa kelelahan di penghujung hari, terutama jika mereka tak mendapatkan bantuan pihak lain.

"Orang dulu punya keluarga yang besar sehingga dapat diminta bantuan. Tapi sekarang, banyak ibu yang tinggal berjauhan dari keluarga besarnya sehingga mereka harus meminta bantuan orang yang memang ahli jika mereka ingin istirahat," jelas Spungin.

48% Orangtua malu dengan sikap anak di Restoran

Seberapa sering anak bersikap kurang baik saat diajak makan di restoran? Menurut survei terbaru, gara-gara sikap buruk anak tersebut, 1 dari 5 orangtua sampai malu mengajak sang buah hati makan di resto.

Survei yang diadakan oleh The Kensington Hotel tersebut diikuti oleh 2.000 orangtua di Inggris. 48% orangtua di Inggris mengaku mereka malu dengan sikap sang anak saat diajak makan di restoran. 1 dari 5 orangtua juga mengungkapkan, mereka meninggalkan restoran dalam keadaan makanan belum habis karena sikap buruk anak. 

Dari survei itu terungkap, beberapa sikap buruk anak yang sulit dikendalikan saat mereka sedang makan:

- 35% anak sulit makan tanpa banyak bicara
- 34% anak sulit duduk dengan baik saat makan
- 22% anak tidak bisa menaruh sikunya di meja dengan baik saat makan
- 20% anak makan dengan tangan bukan sendok atau garpu
- 20% anak ingin meninggalkan meja makan karena bosan.

Masalah di atas membuat orangtua khawatir hingga mereka pun ingin mengikutsertakan anak masuk kelas yang mempelajari etiket di meja makan. Merespon keinginan orangtua tersebut, Kesington Hotel bekerjasama dengan pakar etiket Jean Broke-Smith menyenggalarakan kelas untuk anak-anak belajar etiket saat makan.

Untuk Anda yang merasa kesulitan mengajari anak etiket saat makan, berikut beberapa cara yang bisa dilakukan seperti dikutip dari Daily Mail:

1. Agar anak mau makan dengan sendok dan garpu, minta pelayan di restoran memberikan sendok dan garpu khusus untuk anak. Dengan cara ini, anak jadi lebih mudah makan dengan kedua alat tersebut.

2. Tanya pada anak apa yang mereka ingin makan dan beri penjelasan jika menu yang dipilihnya Anda anggap kurang cocok untuknya. Jangan berikan anak makanan yang sebenarnya dia tidak mau. Cara ini bisa membuat anak menghabiskan makanannya dan tidak menyia-nyiakan makanan tersebut.

3. Jauhkan semua perangkat elektronik dari meja makan. Games atau telepon selular bisa mengalihkan perhatian anak pada makanan.

4. Waktu makan sebaiknya tidak terlalu banyak mengobrol. Pilih waktu lain untuk melakukan obrolan yang memang membutuhkan suara lebih keras dan banyak bicara.

Bila si Kecil gampang Nangis dan Sulit dikontrol

 Anak-anak ketika menginjak usia balita mulai menjadi tantangan tersendiri untuk orangtua. Mereka mulai menunjukkan sifat memberontak, egois, kasar dan sulit dikontrol.

Orangtua pun kewalahan menghadapi sikap anak tersebut. Apalagi biasanya sikap mereka diiringi dengan tangisan, yang bisa membuat orangtua semakin stres.

Kenapa anak bisa memiliki sikap tersebut? Menurut dua psikolog anak Jacob Azerrad dan Paul Chance dalam tulisannya di Psychology Today, ada banyak sebabnya mulai dari terlalu banyak mengonsumsi gula, alergi, televisi dan masalah psikologi.

Di luar faktor tersebut, dua psikolog itu percaya, ada sebab lainnya yang sangat mempengaruhi sehingga anak dengan mudahnya menjadi tidak terkontrol. Menurut mereka penelitian menunjukkan perilaku buruk anak itu terjadi karena orangtua memberikan perhatian yang salah.

Dalam penelitiannya psikolog Betty Hart dan koleganya di University of Washington melakukan penelitian pada seorang bocah berusia empat tahun bernama Bill. Bill dijuluki 'crybaby' di pre schoolnya. Setiap pagi anak itu akan mengeluarkan jurus menangisnya 5-10 kali. Dia akan menangis saat jatuh atau saat anak lain mengambil mainannya. Setiap Bill menangis, guru akan mendatangi untuk menenangkannya. Hart dan koleganya melihat perhatian yang diberikan pada Bill untuk menenangkannya itu justru jadi penyebab kenapa anak itu suka menangis.

Untuk memperkuat hipotesa tersebut, para peneliti kemudian meminta guru-guru Bill untuk menerapkan strategi baru. Sekarang, setiap Bill menangis, gurunya akan melihat padanya untuk mengetahui apakah dia terluka atau tidak. Kalau memang dia tidak terluka, sang guru tidak akan mendatanginya, bicara padanya atau memperhatikannya. 

Guru hanya akan memberikan perhatian khusus pada Bill hanya jika dia terluka atau kalau dia memang jatuh (tapi tidak terluka) dan tak menangis. Sang guru akan memberikan pujian pada Bill atas sikapnya itu. Hasilnya, setelah lima hari frekuensi menangis Bill berkurang.

Junk Food pada Anak Berhubungan dengan IQ

Junk food tidak hanya bisa menyebabkan obesitas dan berbagai gangguan kesehatan. Menurut penelitian terbaru, makanan cepat saji juga berpotensi memengaruhi tingkat IQ pada anak.

Penelitian yang dimuat dalam Journal of Epidemiology and Community Health mengungkapkan, anak yang sering makan junk food berpotensi memiliki IQ lebih rendah saat mereka dewasa. Bagaimana junk food memengaruhi tingkat intelektualitas anak?

Dikutip dari Care2, penelitian tersebut melibatkan 14.000 anak yang lahir pada tahun 1991 dan 1992. Para peneliti memeriksa pola diet dan perkembangan otak mereka pada usia 3, 4, 7 dan 8,5 tahun. Selama periode studi, orangtua mereka memberikan penjelasan tentang konsumsi makanan dan minuman anak-anaknya.

Kemudian, partisipan dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan kebiasaan makan mereka. Kategori pertama adalah 'processed diet', dimana makanan yang mereka konsumsi mengandung gula dan lemak tinggi. Kedua, 'traditional diet' yang terdiri dari konsumsi daging dan kentang. Sedangkan kategori ketiga dilabeli 'health-conscious diet' yang terdiri dari sayuran, buah, pasta dan nasi.

Saat usia responden menginjak 8,5 tahun, tingkat IQ mereka pun diukur. Hasilnya, anak yang mengonsumsi makanan olahan memiliki IQ rata-rata 101, sementara anak dengan diet sehat IQ-nya rata-rata 106. Perbedaannya memang tidak terlalu signifikan, namun bisa diketahui bahwa nutrisi yang dikonsumsi anak saat kecil bisa berpengaruh pada kondisi fisik saat usia mereka lebih besar. 

"Junk food membuat anak lebih sulit menerima pelajaran dan kemampuannya menangkap hal-hal baru di lingkungan juga berkurang," ujar Pauline Emmet dari School of Social and Community Medicine di University of Bristol, Inggris.

Para peneliti juga menemukan bahwa anak yang mulai mengonsumsi junk food sejak usia tiga tahun, efeknya pada otak lebih besar. Pada usia tersebut, perkembangan otak anak sangat pesat dan sangat terpengaruh oleh nutrisi yang mereka asup. Sementara kualitas diet pada anak usia 4 hingga 7 tahun tidak terlalu berpengaruh pada IQ mereka saat menginjak usia 8,5 tahun.

"Sangat jelas bahwa pemilihan makanan sehat di awal usia anak sangat mempengaruhi perkembangan otak saat mereka dewasa nanti. Tidak hanya menjaga berat badan ideal dan sehat, tapi juga meningkatkan kemampuan mereka belajar di sekolah," tutur Direktur dari School Food Trust.

Selain diet sehat, aktivitas fisik juga bagus untuk perkembangan otak anak. Sirkuit motorik primer yang terhubung dengan cerebellum --yang mengontrol postur tubuh dan koordinasi gerak-- berkembang selama anak mendekati usia dua tahun. Dalam periode ini, anak mulai mengeksplorasi apapun yang dilihat dan terjadi pada lingkungan sekitarnya.

Jumat, 02 Desember 2011

Liburan Bikin Si Kecil Makin Cerdas

Jika Anda mendapat cuti panjang untuk hari raya, jangan segan untuk membawa si kecil berjalan-jalan. Melakukan perjalanan selama liburan tak hanya membuatnya anak merasa senang, tetapi juga meningkatkan kecerdasannya. 

Seperti dikutip laman She Knows, penelitian yang dilakukan oleh peneliti Amerika Serikat menemukan bahwa melakukan perjalanan wisata saat liburan bisa merangsang keinginan anak untuk lebih banyak tahu tentang segala hal. Penelitian ini dilakukan di beberapa sekolah dan mengungkap bahwa perjalanan wisata yang dilakukan bersama keluarga adalah hal penting dari pendidikan anak. 

Aktivitas ini memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan kognitif dan merangsang timbulnya rasa ingin tahu pada anak. Doktor William Norman, seorang profesor manajemen pariwisata di Clemson University, Carolina Selatan menyatakan, "memberikan pengalaman perjalanan pada anak, memperluas cakrawala dan membuka pikiran mereka untuk belajar banyak hal." 

Doktor Norman dan tim penelitinya menggunakan data yang dikumpulkan oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat sebagai bagian dari studi longitudinal 'Anak Usia Dini'. Data tersebut berisi informasi tentang 21.600 anak mulai dari taman kanak-kanak sampai kelas lima sekolah dasar.
Mereka mengamati pengalaman awal anak sekolah, pengalaman keluarga serta pengalaman hidup, seperti kegiatan musim panas. 

Orangtua dari sekitar seperempat anak-anak diberikan pertanyaan tentang wisata musim panas dan prestasi akademik. Prestasinya tersebut diukur dengan serangkaian tes standar dalam matematika, membaca dan pengetahuan umum.

Para peneliti kemudian menganalisis data untuk menentukan hubungan antara perjalanan liburan musim panas dan prestasi akademik pada anak-anak saat masuk kelas pertama. Secara khusus, penelitian ini untuk mengetahui apakah pergi berlibur, jumlah hari yang dihabiskan untuk liburan dan tempat yang dikunjungi terkait dengan prestasi akademik di bidang membaca, matematika dan pengetahuan umum. 

Hasil penelitian pun cukup mengejutkan. Para peneliti bisa dengan jelas mengidentifikasi hubungan yang signifikan antara prestasi akademik dan liburan keluarga. Ada tiga kesimpulan yang didapatkan dari penelitian :
- Anak-anak yang bepergian dengan keluarga, memiliki nilai lebih tinggi pada tes penilaian prestasi akademik daripada mereka yang tidak bepergian. 
- Semakin lama jumlah hari yang dihabiskan untuk perjalanan keluarga, memberikan pengaruh positif pada prestasi akademi anak. 
- Anak-anak yang menghabiskan waktu di museum, situs bersejarah, taman negara, dan bahkan kebun binatang serta pantai memiliki nilai prestasi akademik yang secara signifikan lebih tinggi daripada mereka yang tidak. 

Dengan kata lain, Anda tidak perlu membawa keluarga dan anak-anak ke tempat liburan yang mahal. Cukup mengajak mereka pergi ke lingkungan baru seperti kebun binatang, memungkinkan mereka untuk belajar lebih banyak tentang kehidupan dan alam sekitar. Cara ini bisa membuat mereka lebih cerdas.